Perlu Indikator Jelas Pemotongan Anggaran
Anggota Komisi X DPR RI Dadang Rusdiana mengingatkan Pemerintah, harus ada indikator ketika Pemerintah melakukan rasionalisasi anggaran atau pemotongan anggaran belanja Kementerian atau Lembaga. Ia menilai, jangan sampai pemotongan anggaran mengganggu rencana strategis pembangunan.
Demikian dikatakannya di sela-sela RDP antara Komisi X DPR dengan Plt. Kepala PNRI, di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Selasa (7/06/2016). Hal ini terkait rencana pemotongan anggaran belanja di Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (PNRI) sebesar Rp 88 miliar, dari Rp Rp 701 miliar, menjadi Rp 612 miliar.
“Pada dasarnya, seluruh pemotongan anggaran itu harus didasari oleh komitmen kita pada strategi pembangunan yang kita tetapkan. Misalnya dalam strategi pembangunan nasional yang ada dalam RPJMN, jelas sekali bahwa pembangunan yang kita lakukan adalah pembangunan SDM,” tegas Dadang.
Politisi F-Hanura itu menambahkan, komitmen membangun SDM Indonesia adalah dengan pembangunan yang berkenaan langsung dengan peningkatan kapasitas dan kompetensi. Sehingga, Pemerintah harus hati-hati melakukan pemotongan anggaran, yang dikhawatirkan berdampak pada program K/L.
“Misalnya ketika terjadi pemotongan anggaran di PNRI, apakah berdampak pada minat baca. Dimana saat ini minat baca masyarakat Indonesia masih sangat rendah. Kemudian apakah pemotongan yang dilakukan itu berdampak pada pelayanan perpustakaan di daerah. Dimana saat ini rasio perpustakaan dengan jumlah masyarakat masih sangat tinggi, yakni 1 perpustakaan berbanding 100 ribu masyarakat,” analisa Dadang.
Ia mencoba membandingkan dengan negara lain. Di Amerika Serikat, 1 perpustakaan melayani 18 ribu masyarakat. Sementara di Jepang, 1 perpustakaan melayani 45 ribu masyarakat. Diketahui peringkat Indonesia berada di urutan 60 dari 61 negara yang diteliti oleh Central Connecticut State University tahun 2016, dalam data World's Most Literate Nations.
Lebih mengejutkan, data UNESCO tahun 2012 menunjukkan bahwa indeks tingkat membaca orang Indonesia hanyalah 0,001. Itu artinya, dari 1.000 penduduk, hanya ada 1 orang yang mau membaca buku dengan serius.
“Jika kita ingin menggejar ketertinggalan, kita harus membandingkan dengan negara maju. Untuk itu kita minta, pemotongan anggaran jangan sampai membuat indeks pembangunan manusia dan minat baca semakin rendah, hingga pelayanan perpustakaan semakin pontang panting. Itu tidak boleh terjadi ketika kita melakukan pemotongan anggaran kepada PNRI,” ingat politisi asal dapil Jawa Barat itu.
Hal senada diungkapkan Anggota Komisi X DPR RI Rinto Subekti. Politisi F-PD itu juga bingung dengan rencana pemotongan anggaran PNRI, yang dikhawatirkan akan berdampak pada kualitas SDM.
“Pemerintah tidak prioritas pada kualitas minat baca, padahal kualitas SDM juga punya peran penting untuk Indonesia, bukan hanya infrastruktur,” nilai politisi asal dapil Jawa Tengah itu.
Sebelumnya, Plt. Kepala PNRI Dedi Junaedi mengatakan, lembaga yang dipimpinnya mendapat pemotongan anggaran belanja sebesar Rp 88,8 miliar pada RAPBN-P2016, dari anggaran semula Rp 701 miliar, menjadi Rp 612 miliar.
Pemotongan anggaran itu meliputi program dukungan menajemen dan pelaksanaan tugas lainnya sebesar Rp 11,1 miliar. Kemudian anggaran program peningkatan sarana dan prasarana apparatur sebesar Rp 603 juta, dan program pengembangan perpustakaan sebesar Rp 77 miliar.
“Dalam rangka percepatan peringkat Indonesia dalam literasi Internasional yang saat ini menempati urutab 60 dari 61 negara, dan implementasi program Nawacita, maka program prioritas PNRI membutuhkan anggaran sekurang-kurangnya Rp 82,7 miliar,” kata Dedi.
Terhadap usulan kebutuhan anggaran itu, Komisi X DPR meminta PNRI untuk membuat simulasi atau exercise kebutuhan anggaran peningkatan literasi, dan membuat surat resmi kepada Menteri Keuangan dengan tembusan DPR RI. (sf)/oto:kresno/iw.